Jumat, 08 Agustus 2014

Politik Hukum Pancasila dalam Paradigma Nilai-Nilai Sosial Kultural Masyarakat Indonesia

www.journal.unnes.ac.id
Penulis :

Erika
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, Indonesia
Dewa Gede Sudika Mangku
Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Bali, Indonesia

INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh melihat politik hukum Pancasila dipergunakan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pembangunan hukum Indonesia, pada dasarnya tidak terlepas dari nilai-nilai fundamental budaya bangsa yang luhur dalam Pancasila. Dalam kenyataannya, lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, menimbulkan ketidakpuasan di suatu wilayah tertentu atas diberlakukannya UU ini, dan sebagian wilayah menolak akan hadirnya UU ini dikarenakan tidak menghargai dan mengakomodasi nilai-nilai adat, budaya dan sosial kultural yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Tentu saja hal ini menjadi suatu permasalahan politik hukum yang harus diselesaikan oleh pemerintah di dalam membentuk suatu undang undang dimana suatu peraturan tersebut dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya bukan malah sebaliknya. Pembangunan karakter produk hukum yang sarat akan nilai-nilai kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila merupakan salah satu karakteristik yang dapat ditonjolkan sebagai identitas pribadi yang mandiri, dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dengan asas musyawarah mufakat serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, prosedur hukum harus mencakup pembangunan hukum dalam wujud pembaharuan peraturan perundang-undangan, pembinaan aparatur negara, dan masyarakat serta hukum secara struktural, budaya, dan substansi maupun jaminan penghormatan dan penghargaan terhadap HAM bagi setiap warga negara yang dituangkan dalam bentuk konstitusi. 

Pendahuluan
Politik hukum merupakan legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pem-buatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka menca-pai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kese-muanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 (Mahfud; 2012).

Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk (Padmo Wahjono;1986). Kemudian Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadi-kan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum (Padmo; 1991). Satjipto Rahardjo meberikan penger-tian politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat dan L. J. Van Apeldorn mendefinisikan Politik hukum sebagai politik perundang – undangan.

Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan, pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja, Radhie (1973) mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara men-genai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.

Menurut pendapat Moh. Mahfud MD, politik hukum (dikaitkan di Indonesia) adalah sebagai berikut : bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif anta-ra berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland menguta-rakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupa-kan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas : dogmatika hukum, sejarah hukum, perban-dingan hukum, politik hukum dan ilmu hu-kum umum.

Sedangkan keseluruhan hal diatas di-terjemahkan oleh Soeharjo sebagai berikut : yang Pertama ialah Dogmatika Hukum yang memberikan penjelasan mengenai isi (in houd) hukum, makna ketentuan – ketentu-an hukum , dan menyusunnya sesuai den-gan asas – asas dalam suatu sistem hukum. Kedua, Sejarah Hukum yang mempelajari susunan hukum yang lama yang mempu-nyai pengaruh dan peranan terhadap pem-bentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang . Yang Keti-ga, adalah Ilmu Perbandingan Hukum ialah mengadakan perbandingan hukum yang ber-laku diberbagai negara, meneliti kesamaan, dan perbedaanya. Kemudian yang Keempat, Politik Hukum, ialah bertugas untuk mene-liti perubahan – perubahan mana yang per-lu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Dan yang terakhir adalah Ilmu Hukum Umum menjelas-kan tentang tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian peri-hal hukum , kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum dan ilmu hukum.

Pelaksanaan pembangunan hukum di negara Indonesia, pada dasarnya tidak terlepas dari pengembangan aspek hukum yang digali dari nilai-nilai fundamental budaya bangsa dan dikenal dengan istilah nilai-nilai luhur hukum Pancasila. Pancasila dalam kapasitasnya sebagai landasan konstitutif meng-hilhami bahwa penyelenggaraan ketataneg-araan Republik Indonesia yang mengayomi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara konstitusi harus berdasar-kan Pancasila. Membangun keberadaban bangsa yang berkarakter Indonesia adalah conditio zine qua non bagi Bangsa Indonesia. Hal ini dapat diwujudkan jika individu-in-dividu manusia Indonesia sebagai pendud-ukung utama peradaban bangsa Indonesia memiliki karakter bangsa yang luhur dalam rangka membangun keberadaban bangsa. Karakter bangsa yang dimaksud adalah yang telah membentuk kepribadian Pancasila se-bagaimana diakui bahwa Pancasila adalah jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia (Sukadi;2010;3).

Pancasila merupakan idiologi bangsa Indonesia yang telah ada sejak dahulu dan merupakan ciri dari bangsa Indonesia. Pan-casila mengakomodir suatu perbedaan dari sabang sampai merauke, sebagai negara kepulauan dan sudah di akui oleh dunia internasional, bangsa Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang berfungsi sebagai penghu-bung antar pulau bukan sebaliknya sebagai pemisah. Secara otomatis Indonesia memiliki suatu ciri-ciri kedaerahan yang sangat bera-neka ragam dan jumlahnya sangat banyak. Hal inilah yang menyebabkan para pendiri bangsa Indonesia membentuk negara ini ber-landaskan Pancasila. Artinya seluruh tindak tanduk pemerintah di dalam menjalankan pemerintahannya (terutama dalam pemben-tukan peraturan perundang-undangan) tidak boleh melenceng dari Pancasila.

Dalam proses dan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagian masyarakat Indonesia masih banyak menim-bulkan perdebatan, diperbincangankan oleh kalangan mahasiswa dan akademisi serta pertanyaan-pertanyaan yang mendalam, da-lam hal ini peraturan perundang undangan yang di maksud salah satunya adalah Un-dang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Di kalangan daerah khususnya di Bali, undang undang ini banyak menim-bulkan permasalahan dan tidak dapat dite-rima, buktinya Gubernur Bali pada saat itu menolak undang undang tersebut. Dari sisi substansi, undang undang ini dianggap ma-sih mengandung sejumlah persoalan, antara lain undang-undang ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumus-kan secara absolut. Misalnya, eksploitasi sek-sual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.

Dalam tulisan yang dibuat oleh H. Sofyan Sauri dengan judul undang-undang Pornografi dalam Perspektif Pendidikan Umum/ Nilai, beliau menuliskan ditetapkannya undang-undang pornografi dewasa ini yang dilatarbelakangi oleh fenomena semakin me-rosotnya moral bangsa serta pergeseran nilai yang sudah sangat jauh dari jati diri bangsa yang menjungjung tinggi nilai-nilai transen-dental, menjadi salah satu isu terpenting di akhir tahun 2008. Seperti halnya disampai-kan dalam penjelasan Undang-undang Por-nografi bahwa globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggu-naan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap modal dan kepribadian luhur bangsa Indonesia, sehingga mengancam ke-hidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkat-nya tindakan asusila dan pencabulan (Sauri, 2009).

Jika memang terjadi fenomena me-resotnya moral bangsa Indonesia, apakah harus membuat suatu peraturan perundang-undangan yang malah menimbulkan pergo-lakan di daerah lain yang merasa peraturan tersebut tidak adil dan mematikan kreatifi-tas mereka, misalnya seperti pelukis-pelukis dan penari-penari di Bali tidak dapat mela-kukan perkerjaan dengan dengan baik yang merasa hak mereka di kekang dan dibatasi oleh undang-undang tersebut, tidak hanya di Bali tapi di daerah-daerah timur seperti Pa-pua pun mengalami hal yang sama. Muncul-nya Pancasila di Indonesia ialah merupakan suatu cikal bakal keanekaragaman bangsa ini yang terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terbentang dari sabang sampai merauke, dari nias sampai pulau rote, secara otomatis keanekarangan itu akan selalu muncul dan akan menimbulkan nilai-nilai sosial kultural yang berbeda-beda di setiap daerah dan hal ini harus dihargai oleh negara bahkan hal ini haruslah dilindungi bukan malah sebaliknya. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh se-tiap pemangku kepemimpinan di negeri ini untuk selalu memikirkan sosial kultural yang ada di Indonesia karena hal ini sudah ada se-belum Indonesia merdeka dan hal ini tidak dapat dihilangkan begitu saja.

Misalkan di Bali para pelukis yang terbiasa melukis wanita (mungkin menurut undang-undang ini hal itu vulgar), kemudian para penari yang melakukan gerakan tubuh, demikian juga yang terdapat di daerah-da-erah lainnya yang masih belum dapat me-nerima secara penuh undang-undang ini. Bahkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mende-sak Pemerintah untuk membatalkan Un-dang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indo-nesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi, Akan tetapi walaupun pemerin-tah banyak menerima penolakan di daerah-daerah tapi undang-undang tetap di sahkan.

Menurut landasan konstitutif ini, dalam kerangka upaya mewujudkan Politik Hukum Nasional, bangsa Indonesia mempunyai 5 (lima) kerangka kerja atau patokan yang men-jadi sasaran dan hendak dicapai, diantaranya meliputi: (1) Policy, dalam artian kebijakan dasar penyelenggaraan negara, (2) Pembua-tan kebijakan dasar, (3) Substansi/materi hu-kum apa yang dibuat untuk mencapai tujuan nasional, (4) Proses hukum yang meliputi tata urutan peraturan perundang-undangan yang memuat Politik Hukum seperti TAP. MPRS No.XX Tahun 1966, TAP. MPR No.5 Tahun 1973, TAP.MPR No.IX Tahun 1978, TAP.MPR No.III Tahun 2000 dan Undang-Undang No-mor 10 Tahun 2004, (5) Pembentukan Hu-kum Nasional dengan menyandarkan diri pada landasan regulative (Subawa;2009),yaitu bagaimana peraturan perundang-un-dangan dirumuskan sesuai dengan konteks rechtsidee. Kelima poin tadi merupakan sa-saran untuk mencapai pembangunan sistem hukum nasional yang mana sistem hukum nasional itu sendiri merupakan landasan dari pada Politik Hukum Nasional Indonesia.

Apabila dihubungkan dengan pembi-caraan tentang hukum korelasi kelima poin tadi dalam pembangunan hukum tadi dapat meliputi 4 (empat) aspek sebagai berikut: (1) Law Making Proess; seperti dalam wujud UU, PERPPU, PP, KEPRES, PERDA dan PERDES,

(2) Legal Product/Norms, berupa produk hu-kum yang dihasilkan, (3) Law Implementati-on/Application, pelaksanaan hukum sudah berjalan baik atau belum dan dapat diamati dalam pengamalannya baik oleh masyarakat, instansi maupun aparat pemerintah, (4) Law Enforcement, sesuai dengan prosedurnya ka-lau ada pelanggaran masuk ke dalam ranah ini (Nurjaya;2009).

Kelima patokan di atas, bersumber dari klasifikasi hukum menurut pandangan pem-bangunan hukum nasional sebab pembangu-nan hukum baru terdiri dari 5 (lima) klasifika-si hukum tersebut. Di mana kebijakan dasar (basic policy) sering disebut politik hukum, pembuatan kebijakan dasar bersumber pada hukum adat, hukum agama, hukum barat dan hukum nasional (sistem sosial ekonomi masyarakat, sosial budaya, politik, idiologi partai maupun dapat pula berupa tekanan negara-negara besar seperti fenomena yang tengah mencuat ke permukaan pada deca-de belakangan ini). Secara keseluruhan tetap berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Jadi substansi hukumnya tidak bisa melepaskan diri dari kelima hukum ter-sebut dan telah terbentuk melalui suatu proses yang mengarah pada pembentukan hu-kum nasional yang berkesinambungan.

Serta harus sejalan beriringan dengan tatanan nilai-nilai kehidupan di dalam ber-negara, ada yang disebut sebagai nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Nilai das-ar adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak. Nilai dasar, berasal dari nilai-nilai kultural atau budaya yang berasal dari bangsa Indonesia itu sen-diri, yaitu yang berakar dari kebudayaan, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 yang mencerminkan hakikat nilai kultural. Nilai instrumental adalah pelaksanaan umum ni-lai-nilai dasar, biasanya dalam wujud norma sosial atau norma hukum, yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga yang se-suai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai instrumental, meskipun lebih rendah daripada nilai dasar, tetapi tidak kalah pen-ting karena nilai ini mewujudkan nilai umum menjadi konkret serta sesuai dengan zaman. Nilai instrumental merupakan tafsir positif terhadap nilai dasar yang umum. Nilai prak-sis adalah nilai yang sesungguhnya kita lak-sanakan dalam kenyataan. Semangatnya nilai praksis ini seyogyanya sama dengan nilai das-ar dan nilai instrumental.

Dalam penelitian ini akan membahas tentang bagaimana suatu politik hukum Pan-casila yang digunakan oleh pemerintah di dalam pembentukan suatu peraturan perun-dang-undangan tanpa harus meninggalkan dan mengesampingkan sosial kultural dari masyarakat bangsa Indonesia dan justru ma-lah sebaliknya memberikan suatu perlindun-gan hukum bagi eksistensi mereka untuk da-pat mengembangkan daya kreatifitas mereka dan bukan dibatasi, tentunya hal ini sesuai dengan rambu-rambu aturan yang telah ada sebelumnya.


Untuk dapat memperoleh hasil lengkap penelitian ini silahkan kirimkan email ke :

erika_notaris@yahoo.com
erika_aktivisdayak@yahoo.com


Tidak ada komentar: