www.journal.unnes.ac.id |
Penulis :
Erika
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda, Indonesia
Dewa Gede Sudika Mangku
Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Bali, Indonesia
INTISARI
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh melihat politik hukum Pancasila dipergunakan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pembangunan hukum Indonesia, pada dasarnya tidak terlepas dari nilai-nilai fundamental budaya bangsa yang luhur dalam Pancasila. Dalam kenyataannya, lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, menimbulkan ketidakpuasan di suatu wilayah tertentu atas diberlakukannya UU ini, dan sebagian wilayah menolak akan hadirnya UU ini dikarenakan tidak menghargai dan mengakomodasi nilai-nilai adat, budaya dan sosial kultural yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Tentu saja hal ini menjadi suatu permasalahan politik hukum yang harus diselesaikan oleh pemerintah di dalam membentuk suatu undang undang dimana suatu peraturan tersebut dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi warga negaranya bukan malah sebaliknya. Pembangunan karakter produk hukum yang sarat akan nilai-nilai kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila merupakan salah satu karakteristik yang dapat ditonjolkan sebagai identitas pribadi yang mandiri, dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dengan asas musyawarah mufakat serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, prosedur hukum harus mencakup pembangunan hukum dalam wujud pembaharuan peraturan perundang-undangan, pembinaan aparatur negara, dan masyarakat serta hukum secara struktural, budaya, dan substansi maupun jaminan penghormatan dan penghargaan terhadap HAM bagi setiap warga negara yang dituangkan dalam bentuk konstitusi.
Pendahuluan
Politik hukum merupakan legal policy
atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pem-buatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka
menca-pai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan
tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kese-muanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945 (Mahfud; 2012).
Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik
hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum
yang akan dibentuk (Padmo Wahjono;1986). Kemudian Padmo Wahjono memperjelas
definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadi-kan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum
(Padmo; 1991). Satjipto Rahardjo meberikan penger-tian politik Hukum adalah
aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang
hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat dan L. J. Van
Apeldorn mendefinisikan Politik hukum sebagai politik perundang – undangan.
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan
dan isi peraturan perundang – undangan, pengertian politik hukum terbatas
hanya pada hukum tertulis saja, Radhie (1973) mendefinisikan politik hukum
sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara men-genai hukum yang berlaku
di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Menurut pendapat Moh. Mahfud MD, politik
hukum (dikaitkan di Indonesia) adalah sebagai berikut : bahwa definisi atau
pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan
substansif anta-ra berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan
kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan, dan pelaksanaan ketentuan hukum
yang telah ada, termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot
de Fechts Weten Schap in Nederland menguta-rakan posisi politik
hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupa-kan salah satu
cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas :
dogmatika hukum, sejarah hukum, perban-dingan hukum, politik hukum dan ilmu
hu-kum umum.
Sedangkan keseluruhan hal diatas
di-terjemahkan oleh Soeharjo sebagai berikut : yang Pertama ialah
Dogmatika Hukum yang memberikan penjelasan mengenai isi (in houd)
hukum, makna ketentuan – ketentu-an hukum , dan menyusunnya sesuai den-gan asas
– asas dalam suatu sistem hukum. Kedua, Sejarah Hukum yang mempelajari
susunan hukum yang lama yang mempu-nyai pengaruh dan peranan terhadap
pem-bentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita
ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang . Yang
Keti-ga, adalah Ilmu Perbandingan Hukum ialah mengadakan
perbandingan hukum yang ber-laku diberbagai negara, meneliti kesamaan, dan
perbedaanya. Kemudian yang Keempat, Politik Hukum, ialah bertugas untuk
mene-liti perubahan – perubahan mana yang per-lu diadakan terhadap hukum yang
ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Dan
yang terakhir adalah Ilmu Hukum Umum menjelas-kan tentang tidak mempelajari
suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu sebagai suatu hal
sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu
Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian peri-hal hukum ,
kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek
hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum
dan ilmu hukum.
Pelaksanaan pembangunan hukum di negara
Indonesia, pada dasarnya tidak terlepas dari pengembangan aspek hukum yang
digali dari nilai-nilai fundamental budaya bangsa dan dikenal dengan istilah
nilai-nilai luhur hukum Pancasila. Pancasila dalam ka pasitasnya
sebagai landasan konstitutif meng-hilhami bahwa penyelenggaraan ketataneg-araan
Republik Indonesia yang mengayomi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara secara konstitusi harus berdasar-kan Pancasila. Membangun keberadaban
bangsa yang berkarakter Indonesia adalah conditio zine qua non bagi
Bangsa Indonesia. Hal ini dapat diwujudkan jika individu-in-dividu
manusia Indonesia sebagai pendud-ukung utama peradaban bangsa Indonesia
memiliki karakter bangsa yang luhur dalam rangka membangun keberadaban bangsa.
Karakter bangsa yang dimaksud adalah yang telah membentuk kepribadian Pancasila
se-bagaimana diakui bahwa Pancasila adalah jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia (Sukadi;2010;3).
Pancasila merupakan idiologi bangsa
Indonesia yang telah ada sejak dahulu dan merupakan ciri dari bangsa Indonesia.
Pan-casila mengakomodir suatu perbedaan dari sabang sampai merauke, sebagai
negara kepulauan dan sudah di akui oleh dunia internasional, bangsa Indonesia
terdiri dari pulau-pulau yang berfungsi sebagai penghu-bung antar pulau bukan
sebaliknya sebagai pemisah. Secara otomatis Indonesia memiliki suatu ciri-ciri
kedaerahan yang sangat bera-neka ragam dan jumlahnya sangat banyak. Hal inilah
yang menyebabkan para pendiri bangsa Indonesia membentuk negara ini
ber-landaskan Pancasila. Artinya seluruh tindak tanduk pemerintah di dalam
menjalankan pemerintahannya (terutama dalam pemben-tukan peraturan
perundang-undangan) tidak boleh melenceng dari Pancasila.
Dalam proses dan pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagian masyarakat Indonesia masih banyak menim-bulkan
perdebatan, diperbincangankan oleh kalangan mahasiswa dan akademisi serta
pertanyaan-pertanyaan yang mendalam, da-lam hal ini peraturan perundang
undangan yang di maksud salah satunya adalah Un-dang Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi. Di kalangan daerah khususnya di Bali, undang undang ini
banyak menim-bulkan permasalahan dan tidak dapat dite-rima, buktinya Gubernur
Bali pada saat itu menolak undang undang tersebut. Dari sisi substansi,
undang undang ini dianggap ma-sih mengandung sejumlah persoalan, antara lain
undang-undang ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu,
tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumus-kan secara absolut. Misalnya, eksploitasi
sek-sual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai
hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.
Dalam tulisan yang dibuat oleh H.
Sofyan Sauri dengan judul undang-undang Pornografi dalam Perspektif
Pendidikan Umum/ Nilai, beliau menuliskan ditetapkannya undang-undang
pornografi dewasa ini yang dilatarbelakangi oleh fenomena semakin me-rosotnya
moral bangsa serta pergeseran nilai yang sudah sangat jauh dari jati diri
bangsa yang menjungjung tinggi nilai-nilai transen-dental, menjadi salah satu
isu terpenting di akhir tahun 2008. Seperti halnya disampai-kan dalam
penjelasan Undang-undang Por-nografi bahwa globalisasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah
memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan
penggu-naan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap modal dan
kepribadian luhur bangsa Indonesia, sehingga mengancam ke-hidupan dan tatanan
sosial masyarakat Indonesia. Berkembangnya pornografi di tengah masyarakat
juga mengakibatkan meningkat-nya tindakan asusila dan pencabulan (Sauri, 2009).
Jika memang terjadi fenomena me-resotnya
moral bangsa Indonesia, apakah harus membuat suatu peraturan perundang-undangan
yang malah menimbulkan pergo-lakan di daerah lain yang merasa peraturan
tersebut tidak adil dan mematikan kreatifi-tas mereka, misalnya seperti
pelukis-pelukis dan penari-penari di Bali tidak dapat mela-kukan perkerjaan
dengan dengan baik yang merasa hak mereka di kekang dan dibatasi oleh
undang-undang tersebut, tidak hanya di Bali tapi di daerah-daerah timur seperti
Pa-pua pun mengalami hal yang sama. Muncul-nya Pancasila di Indonesia ialah
merupakan suatu cikal bakal keanekaragaman bangsa ini yang terdiri dari gugusan
pulau-pulau yang terbentang dari sabang sampai merauke, dari
nias sampai pulau rote, secara otomatis keanekarangan itu akan selalu muncul
dan akan menimbulkan nilai-nilai sosial kultural yang berbeda-beda di setiap
daerah dan hal ini harus dihargai oleh negara bahkan hal ini haruslah
dilindungi bukan malah sebaliknya. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh
se-tiap pemangku kepemimpinan di negeri ini untuk selalu memikirkan sosial
kultural yang ada di Indonesia karena hal ini sudah ada se-belum Indonesia
merdeka dan hal ini tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Misalkan di Bali para pelukis yang
terbiasa melukis wanita (mungkin menurut undang-undang ini hal itu vulgar),
kemudian para penari yang melakukan gerakan tubuh, demikian juga yang terdapat
di daerah-da-erah lainnya yang masih belum dapat me-nerima secara penuh
undang-undang ini. Bahkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD
Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang
Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mende-sak
Pemerintah untuk membatalkan Un-dang-Undang Pornografi yang telah disahkan
dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari
Indo-nesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan
pemberlakuan UU Pornografi, Akan tetapi walaupun pemerin-tah banyak menerima
penolakan di daerah-daerah tapi undang-undang tetap di sahkan.
Menurut landasan konstitutif ini, dalam
kerangka upaya mewujudkan Politik Hukum Nasional, bangsa Indonesia mempunyai 5
(lima) kerangka kerja atau patokan yang men-jadi sasaran dan hendak dicapai,
diantaranya meliputi: (1) Policy, dalam artian kebijakan dasar
penyelenggaraan negara, (2) Pembua-tan kebijakan dasar, (3) Substansi/materi
hu-kum apa yang dibuat untuk mencapai tujuan nasional, (4) Proses hukum yang
meliputi tata urutan peraturan perundang-undangan yang memuat Politik Hukum
seperti TAP. MPRS No.XX Tahun 1966, TAP. MPR No.5 Tahun 1973, TAP.MPR No.IX
Tahun 1978, TAP.MPR No.III Tahun 2000 dan Undang-Undang No-mor 10 Tahun 2004,
(5) Pembentukan Hu-kum Nasional dengan menyandarkan diri pada landasan
regulative (Subawa;2009), yaitu
bagaimana peraturan perundang-un-dangan dirumuskan sesuai dengan konteks rechtsidee.
Kelima poin tadi merupakan sa-saran untuk mencapai pembangunan sistem hukum
nasional yang mana sistem hukum nasional itu sendiri merupakan landasan dari
pada Politik Hukum Nasional Indonesia.
Apabila dihubungkan dengan pembi-caraan
tentang hukum korelasi kelima poin tadi dalam pembangunan hukum tadi dapat
meliputi 4 (empat) aspek sebagai berikut: (1) Law Making Proess; seperti
dalam wujud UU, PERPPU, PP, KEPRES, PERDA dan PERDES,
(2)
Legal Product/Norms, berupa produk hu-kum yang dihasilkan, (3) Law
Implementati-on/Application, pelaksanaan hukum sudah berjalan baik
atau belum dan dapat diamati dalam pengamalannya baik oleh masyarakat, instansi
maupun aparat pemerintah, (4) Law Enforcement, sesuai dengan
prosedurnya ka-lau ada pelanggaran masuk ke dalam ranah ini (Nurjaya;2009).
Kelima patokan di atas, bersumber dari
klasifikasi hukum menurut pandangan pem-bangunan hukum nasional sebab
pembangu-nan hukum baru terdiri dari 5 (lima) klasifika-si hukum tersebut. Di
mana kebijakan dasar (basic policy) sering disebut politik hukum,
pembuatan kebijakan dasar bersumber pada hukum adat, hukum agama, hukum barat
dan hukum nasional (sistem sosial ekonomi masyarakat, sosial budaya, politik,
idiologi partai maupun dapat pula berupa tekanan negara-negara besar seperti
fenomena yang tengah mencuat ke permukaan pada deca-de belakangan ini).
Secara keseluruhan tetap berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945. Jadi substansi hukumnya tidak bisa melepaskan diri dari kelima hukum
ter-sebut dan telah terbentuk melalui suatu proses yang mengarah pada
pembentukan hu-kum nasional yang berkesinambungan.
Serta harus sejalan beriringan dengan
tatanan nilai-nilai kehidupan di dalam ber-negara, ada yang disebut sebagai
nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Nilai das-ar adalah
asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak. Nilai
dasar, berasal dari nilai-nilai kultural atau budaya yang berasal dari
bangsa Indonesia itu sen-diri, yaitu yang berakar dari kebudayaan, se suai
dengan Pancasila dan UUD 1945 yang mencerminkan hakikat nilai kultural. Nilai
instrumental adalah pelaksanaan umum ni-lai-nilai dasar, biasanya dalam
wujud norma sosial atau norma hukum, yang selanjutnya akan terkristalisasi
dalam lembaga yang se-suai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai
instrumental, meskipun lebih rendah daripada nilai dasar, tetapi tidak kalah
pen-ting karena nilai ini mewujudkan nilai umum menjadi konkret serta sesuai
dengan zaman. Nilai instrumental merupakan tafsir positif terhadap nilai dasar
yang umum. Nilai prak-sis adalah nilai yang sesungguhnya kita lak-sanakan
dalam kenyataan. Semangatnya nilai praksis ini seyogyanya sama dengan nilai
das-ar dan nilai instrumental.
Dalam penelitian ini akan membahas
tentang bagaimana suatu politik hukum Pan-casila yang digunakan oleh pemerintah
di dalam pembentukan suatu peraturan perun-dang-undangan tanpa harus
meninggalkan dan mengesampingkan sosial kultural dari masyarakat bangsa
Indonesia dan justru ma-lah sebaliknya memberikan suatu perlindun-gan hukum
bagi eksistensi mereka untuk da-pat mengembangkan daya kreatifitas mereka dan
bukan dibatasi, tentunya hal ini sesuai dengan rambu-rambu aturan yang telah
ada sebelumnya.
Untuk dapat memperoleh hasil lengkap penelitian ini silahkan kirimkan email ke :
erika_notaris@yahoo.com
erika_aktivisdayak@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar